Pentingnya Kuliah

Bob
Sadino: “Mau kaya? berhentilah sekolah atau berhentilah kuliah sekarang
juga, and start action, karena ilmu di lapangan lebih penting daripada
ilmu di sekolahan atau kuliahan.”
Mario
Teguh: “Berhati-hatilah dengan orang yang membanggakan keberhasilannya
walaupun dia berpendidikan rendah. Itu tidak boleh dijadikan dalil.
Pendidikan itu penting. Buktinya, dengan pendidikan yang sedikit saja,
dia bisa berhasil, apalagi jika dia terdidik dengan lebih baik. Bukankah
kita dianjurkan untuk menuntut ilmu sampai ke negeri Cina? Dengan ilmu,
segala sesuatu bisa mencapai kualitas tertingginya.”
Anda sepakat dengan siapa???
Pastinya
ada yang sepakat dengan si pengusaha (Bob Sadino) juga ada yang sepakat
dengan si Motivator (Mario Teguh). Kedua pendapat ini menjadi acuan
dalam tulisan ini mengingat ke dua orang ini dianggab orang dalam
kategori berhasil dan keduanya memiliki profesi yang berbeda. Tapi dalam
konteks ini kita tidak sedang membahas kiprah mereka, tetapi lebih
kepada mengkaji pendapat mereka tentang Pendidikan dan hubungannya
dengan Keberhasilan.
Berpendidikan
tinggi selalu diidentikan dengan berhasil dan ukurannya adalah status
sosial yang hebat dan salah satunya indikatornya adalah materi yg cukup
atau bahkan materi yang lebih dari ukuran pendapatan orang-orang pada
umumnya. Namun sering sekali terjadi hal yang sebaliknya, justru orang
yang gagal di bangku sekolahan (kuliah) malahan berhasil dalam status
sosial dan berlimpah secara materi , seperti layaknya Bill Gate dan
Pendiri FaceBook, dan banyak juga di Indonesia orang-orang seperti ini,
yang berhasil tanpa selesai kuliahnya ataupun tidak sempat mengenyam
pendidikan yang tinggi.
Ketika
kesuksesan dapat di raih tanpa kuliah, untuk apalagi sebenarnya kuliah
(berpendidikan)?. Mari sejenak kita defenisikan apa itu pendidikan.
Menurut wikipedia, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Lebih
filosofis lagi Pendidikan adalah Untuk Memerdekakan Manusia (Ki Hadjar
Dewantara) maupun Pendidikan adalah Untuk Memanusiakan Manusia
(Driyarkara).
Defenisi
pendidikan diatas, secara khusus oleh kedua tokoh pendidikan tersebut,
secara tegas menyatakan pendidikan itu tidak mengajarkan anak didik
bagaimana mencari kekayaan materi secara baik dan benar tetapi lebih
kepada mengajari sang anak didik secara SADAR untuk berguna bagi dirinya
dan orang lain bila perlu berguna bagi bangsa dan dunia. Sederhannya
pendidikan menjadi alat untuk membentuk karakter anak didik. Perlu kita
sadari untuk menjadi terdidik itu tidaklah harus melalui jenjang
pendidikan formal , bisa juga melalui jalur non formal, sama halnya
ketika memperdebatkan mana duluan Teori atau Praktek, pilihannya
tergantung persepsi individu yang akan memutuskan sesuai kebutuhan
(cita-cita) dan pengalaman , seorang ilmuwan cenderung berteori dulu
sementara seorang pekerja lapangan cenderung Praktek aja langsung
layaknya seorang pengusaha dan kedua-duanya berpotensi untuk Berhasil
dan juga Gagal.
Atas
kondisi diatas alangkah lebih berhasilnya seseorang bila ia mampu
memadukan antara Teori dan Praktek. Hal ini menegaskan bahkan mengenyam
pendidikan di sekolah formal masih perlu, disisi lain sekolah formal
dapat menjadi tempat membentuk Karakter anak didik, sesuai identitas
ke-Indonesiaan, sehingga nantinya ia tidak menjadi ilmuwan yang anti
Tuhan maupun Pengusaha “Hitam”, apalagi menjadi menjadi Penindas baru
atas jabatan yang akan di embannya.
Sudahkah
penyelenggara pendidikan Formal kita menjadi tempat bagi pembentukan
karakter anak didik, saya pastikan belum saudara-saudara, lihat
bagaimana filosis pendidikan kita Tak Tentu Arahnya, tergantung angin
BARAT berhembus kemana, kesitulah sistem pendidikan kita Membebek, ganti
menteri ganti kebijakan, ironisnya ijazah ASPAL masih banyak yang
berseliweran kesana-kesini menawarkan dagangannya kepada pejabat-pejabat
yang doyan tradisi feodal, yaitu Gelar kesarjanaan. Uniknya gelar
kesarjanaan kemudian menjadi tameng dan topeng bahwa ia adalah seorang
yang terdidik
Mungkin
sebentar lagi nasib lulusan SMK sama saja dengan lulusan SMU. Ketika
lulusan Perguruan Tinggi (PT) yang sering disebut Pengangguran Terdidik
melanda negeri ini, lulusan SMU ogah masuk PT, untuk apa?? Toh selain
biaya kuliah mahal, ntar juga pengangguran, kata si Melki anak tetangga
sebelah. Banyaknya penganguran lulusan PT membuat mendiknas periode
2004-2009 gembar-gembor di TV biar lulusan SLTP masuk SMK saja. Namun
apabila hasil-hasil kreativitas anak-nak SMK tidak tersalurkan, satu
dekade berikutnya itu sama saja dengan lulusan SMU, akhirnya
karya-karya SMK akan stagnan karena diterpa gerombolan produk-produk
china, orang kemudian rame-rame kuliah tanpa arah, otomatis tingkat
pengangguran semakin membengkak. Lihat bagaimana mobil ESEMKA rakitan
anak didiknya pak JOKO Wi di Solo, negara setengah hati mengurusnya. Hal
ini melengkapi , bahwa arah pendidikan nasional kita belum menemukan
rohnya dan para pengambil kebijakan masih kebingungan, atau mungkin
juga sengaja bingung, demi kepentingan golongannya.
Bila
akhirnya institusi-institusi pendidikan gagal mencetak anak didik yang
berkarakter, cerdas, berahlak mulia dan berpihak terhadap kepentingan
masyarakat. Maka selama itu juga, pendidikan formal akan menjadi bahan
yang empuk untuk diperdebatkan oleh para Pengusaha dan Motivator.
Padahal pendidikan melalui jalur Formal itu sangat penting, untuk
generasi yang akan membela peradaban bangsa ini dikemudian hari.
Kalau
begitu profesi yang Hebat dan mulia itu adalah menjadi Pengusaha dan
Motivator dong??Tidak harus, sebab menjadi berguna itu tidak harus
apalagi wajib menjadi Pengusaha maupun Motivator. Bahkan bila negara
mampu mensejahterakan rakyatnya melalui diferensiasi kerja maka
Pengusaha tidak menjadi pilihan tunggal untuk keluar dari kesulitan
ekonomi. Apalagi Motivator, jikalau institusi mampu mencetak anak didik
yang cerdas, maka dia tidak butuh para MOTIVATOR.
http://edukasi.kompasiana.com/2012/01/26/mario-teguh-vs-bob-sadino-seberapa-penting-kuliah-berpendidikan/
0 komentar: